Pages

Sabtu, Maret 2

MENDAKI GUNUNG

Naik gunung, biasanya diidentikkan dengan kegiatan para pencinta alam. Menembus badai, mencari jejak dengan satu tujuan, yaitu puncak. Sekarang ini orang ramai-ramai mendaki gunung dengan berbagai macam tujuan.

Sebenarnya saya merasa kurang beruntung karena tidak dilahirkan lebih awal untuk menikmati indahnya mendaki gunung. Mendengar cerita dari orang-orang yang lebih awal dilahirkan, mendaki gunung itu memiliki satu kepuasan tersendiri ketika telah sukses mencapai puncak. Mereka bercerita banyak hal tentang membuat jalur menuju puncak, mendaki tebing karena tidak mendapat jalur yang lebih nyaman, terperosok ke dalam jurang karena salah mengambil jalur, hingga tersesat berhari-hari di dalam hutan karena salah perhitungan. Dulu mendaki gunung itu benar-benar untuk mencari ketenangan, ketegangan dan kepuasan. Belum ada jalur yang dipastikan benar, atau mungkin setiap jalur itu adalah benar. Itu dulu ketika para pencinta alam sangat identik dengan kebebasan

Namun rasa kurang beruntung itu salalu tertutupi ketika saya sendiri sedang berada di alam bebas. Kurang beruntung itu selalu tertutupi oleh rasa syukur, karena sekarang mendaki gunung itu bukan hanya tentang ketenangan, keteganagan, dan kepuasan. Tapi tentang rasa nyaman dan syukur tanpa meninggalkan tiga hal di atas. Selalu banyak tanya yang menghampiri ketika sedang berada di gunung. Dan tanya itu selalu terjawab ketika telah berada di puncaknya. Walaupun kadang ada beberapa puncak yang mengecewakan karena banyaknya sampah yang ditinggalkan oleh pendaki sebelumnya.

Saat ini banyak sekali orang-orang yang mengaku sebagai pencinta alam yang karena dibajunya terdapat logo himpunan atau organisasi pencinta alam. Bahkan karena mereka pernah mendaki satu gunung, mereka dengan bangga menyebut dirinya sebagai pencinta alam. Benarkah mereka pencinta alam? Hanya alam yang bisa menilai.

Sebenarnya apa sih pencinta alam? Saya sendiri tidak bisa mendeskripsikan apa itu pencinta alam, karena saya pun bukan pencinta alam. Mungkin saya lebih memilih menyebut diri saya sebagai penggiat alam. Karena saya mendaki gunung hanya sebatas untuk menghilangkan penat dan mencari ketenangan. Lalu bagaimana dengan mereka para "pencinta alam"? Entahlah, itu urusan pribadi masing-masing. Karena menurut saya pencinta alam itu hanya sebatas nama untuk dituliskan di lembar kertas ketika menyerahkan proposal untuk mencari dana suatu ekspedisi. Kata pencinta alam itu pupus sudah ketika sudah memasuki alam bebas karena mereka para pencinta alam adalah sama-sama orang yang ingin bebas dari belenggu sebuah nama.

Terlepas dari pencinta alam, organisasi, himpunan, sispala, mapala, ataupun komunitas dan tanpa mengurangi hormat kepada mereka yang telah disebutkan sebelumnya. Mendaki gunung itu seharusnya tanpa misi. Karena mendaki gunung itu untuk mencari kebebasan. Untuk melepaskan rasa egois terbang bersama angin. Dan mendaki gunung itu sebenarnya bukan tentang mencapai puncak. Tapi tentang menjalin persaudaraan dan saling mengerti. Mendaki gunung itu bukan tentang mebuang-buang waktu. Tapi tentang menyusun bagaimana cara terbaik membunuh waktu. Mendaki gunung itu bukan tentang mendapat panggilan si gagah. Tapi tentang mencari cara membunuh rasa takut.

 

Sabtu, Maret 2

MENDAKI GUNUNG

Naik gunung, biasanya diidentikkan dengan kegiatan para pencinta alam. Menembus badai, mencari jejak dengan satu tujuan, yaitu puncak. Sekarang ini orang ramai-ramai mendaki gunung dengan berbagai macam tujuan.

Sebenarnya saya merasa kurang beruntung karena tidak dilahirkan lebih awal untuk menikmati indahnya mendaki gunung. Mendengar cerita dari orang-orang yang lebih awal dilahirkan, mendaki gunung itu memiliki satu kepuasan tersendiri ketika telah sukses mencapai puncak. Mereka bercerita banyak hal tentang membuat jalur menuju puncak, mendaki tebing karena tidak mendapat jalur yang lebih nyaman, terperosok ke dalam jurang karena salah mengambil jalur, hingga tersesat berhari-hari di dalam hutan karena salah perhitungan. Dulu mendaki gunung itu benar-benar untuk mencari ketenangan, ketegangan dan kepuasan. Belum ada jalur yang dipastikan benar, atau mungkin setiap jalur itu adalah benar. Itu dulu ketika para pencinta alam sangat identik dengan kebebasan

Namun rasa kurang beruntung itu salalu tertutupi ketika saya sendiri sedang berada di alam bebas. Kurang beruntung itu selalu tertutupi oleh rasa syukur, karena sekarang mendaki gunung itu bukan hanya tentang ketenangan, keteganagan, dan kepuasan. Tapi tentang rasa nyaman dan syukur tanpa meninggalkan tiga hal di atas. Selalu banyak tanya yang menghampiri ketika sedang berada di gunung. Dan tanya itu selalu terjawab ketika telah berada di puncaknya. Walaupun kadang ada beberapa puncak yang mengecewakan karena banyaknya sampah yang ditinggalkan oleh pendaki sebelumnya.

Saat ini banyak sekali orang-orang yang mengaku sebagai pencinta alam yang karena dibajunya terdapat logo himpunan atau organisasi pencinta alam. Bahkan karena mereka pernah mendaki satu gunung, mereka dengan bangga menyebut dirinya sebagai pencinta alam. Benarkah mereka pencinta alam? Hanya alam yang bisa menilai.

Sebenarnya apa sih pencinta alam? Saya sendiri tidak bisa mendeskripsikan apa itu pencinta alam, karena saya pun bukan pencinta alam. Mungkin saya lebih memilih menyebut diri saya sebagai penggiat alam. Karena saya mendaki gunung hanya sebatas untuk menghilangkan penat dan mencari ketenangan. Lalu bagaimana dengan mereka para "pencinta alam"? Entahlah, itu urusan pribadi masing-masing. Karena menurut saya pencinta alam itu hanya sebatas nama untuk dituliskan di lembar kertas ketika menyerahkan proposal untuk mencari dana suatu ekspedisi. Kata pencinta alam itu pupus sudah ketika sudah memasuki alam bebas karena mereka para pencinta alam adalah sama-sama orang yang ingin bebas dari belenggu sebuah nama.

Terlepas dari pencinta alam, organisasi, himpunan, sispala, mapala, ataupun komunitas dan tanpa mengurangi hormat kepada mereka yang telah disebutkan sebelumnya. Mendaki gunung itu seharusnya tanpa misi. Karena mendaki gunung itu untuk mencari kebebasan. Untuk melepaskan rasa egois terbang bersama angin. Dan mendaki gunung itu sebenarnya bukan tentang mencapai puncak. Tapi tentang menjalin persaudaraan dan saling mengerti. Mendaki gunung itu bukan tentang mebuang-buang waktu. Tapi tentang menyusun bagaimana cara terbaik membunuh waktu. Mendaki gunung itu bukan tentang mendapat panggilan si gagah. Tapi tentang mencari cara membunuh rasa takut.